Holiday Travel (Part 3) : Bengkulu

Duuuh baru sempet lagi nih nerusin cerita perjalanannya, mudah-mudahan belum basi-basi amat :D

Part 1 disini, Part 2 disini.

Rabu, 31 Desember 2008

At 9 a.m we arrived in Bengkulu. Nunggu beberapa saat di bandara, setelah itu kami berjalan ke luar. Jarak dari bandara ke jalan raya gak jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Saat itu berbekal informasi dari internet, kami akan mengunjungi Rumah Peninggalan Soekarno di Bengkulu. Tapi kesananya pake apa ya?

Eh itu ada pos polisi bandara, jadi kami bertanya pada seorang polisi yang lagi jaga. Emang Cuma ada satu pak polisi itu. Katanya pake angkot putih sampe Panorama trus naik angkot hijau trus naik angkot putih. Ah ribet amat ya. Ya udah deh, yang penting ke luar dulu dari area bandara.

Saat itu cuaca lagi hujan, kami tiba di jalan raya dan melihat tulisan “Selamat Datang di Bengkulu, Kota Semarak”. Heuheu…Semarak apaan? Semarak sama spanduk parpol dan caleg sih iya. Kotanya sepiiiiii banget. Kami jarang liat orang, bahkan kendaraan pun jarang liat. Akhirnya tuh ada angkot putih. Kami naik angkot itu, ternyata cukup jauh juga perjalanan ke Panorama. Sepanjang perjalanan full music deh, dan kami bertiga gak tau lagu apa yang diputer hahaha … Ternyata Panorama itu nama terminal di Bengkulu. Bertanya pada seorang ibu di angkot putih itu, ternyata ke rumah peninggalan Soekarno itu hanya tinggal naik sekali angkot lagi, warna kuning (fyi, angkot di Bengkulu disebut taksi :D. Ciri khas angkot di Bengkulu, hampir di setiap bagian belakang ada speaker gede, dan supirnya seneng muter musik kenceng banget).

Dari Panorama ke Jl. Soekarno ternyata cukup jauh. Hujan semakin deras. Brrr….dingin. Setelah lebih dari setengah jam pake angkot, akhirnya tiba juga di tempat yang dituju. Duuuh hujannya masih deras. Nah itu dia, rumah peninggalan Soekarno di Jl. Seokarno. Rumah itu didiami Soekarno waktu diasingkan ke Bengkulu antara 1938 – 1942.

Arsitekturnya unik. Di teras depan, ada buku tamu untuk setiap pengunjung. Kami bayar Rp 1.000,- per orang. Sayang, bagian teras itu juga dipake orang untuk jualan jadi kesannya agak kumuh. Kenapa gak bikin counter khusus buat jualan ya?
Walopun hari hujan, saat itu juga terdapat beberapa pengunjung sehingga keadaan tidak terlalu sepi. Kami memasuki rumah itu dan melihat-lihat. Ada ruang tamu, ruang perpustakaan, kamar tidur, dan beberapa ruang lainnya. Ruang perpustakaan masih menyimpan beberapa puluh buku peninggalan Soekarno. Kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Namun, kondisi rumah itu sih lumayan terawat walaupun beberapa furniture di dalamnya sudah diganti.

Selesai berkeliling di rumah itu kami keluar. Tujuan selanjutnya adalah Rumah Fatmawati di Jl. Fatmawati. Kami bertanya pada seorang bapak di depan gerbang jalan ke arah sana, karena kami berniat jalan kaki. Eh tanpa disangka-sangka si Bapak itu dengan antusias bercerita tentang perjuangan etc, wah semangat banget deh. Sementara kami udah kedinginan karena saat itu hujan masih deras dan Bapak itu malah terus cerita tanpa ngasi arah yang jelas. Yaa…akhirnya dengan sabar kami menunggu dia selesai cerita. Kemudian setelah selesai kami jalan sesuai dengan keterangan si bapak. Euuu…ternyata malah jalan memutar.
Setelah beberapa lama jalan kaki, jalan nanjak jalan menurun, hujan, haaaaahhhhhhhh…. Dingin, kaki dah basah banget, tapi tuh rumah gak keliatan juga. Akhirnya karena semakin gak nyaman dengan kaki yang basah kami memutuskan naik angkot. Beuuu…ternyata pas naik angkot dah deket. Coba kalo cuaca terang. Ampun deh Bengkulu, dari kami tiba sampe udah keliling beberapa tempat, hujannya gak reda juga.

Nah itu dia, Rumah Fatmawati. Rumahnya bagus. Saat kami tiba, tidak ada pengunjung lain, sepi banget. Hanya ada satu orang penjaga sekaligus guide. Masuk ke rumah itu gak ada tiket khusus, kita boleh bayar sukarela (malah bingung kan mesti bayar berapa?). Di rumah itu ada beberapa peninggalan Fatmawati termasuk baju-baju yang pernah dipakainya.
Ketika kami meninggalkan tempat itu, ada beberapa orang pengunjung yang baru datang.

Dari tempat itu kami kemudian berjalan ke arah Simpang Lima kota Bengkulu. Kebetulan melewati kantor Telkom, jadi kami mampir ke sana dengan maksud membeli kartu Perdana Flexi buat nelpon-nelpon lokal dan meminjam buku telpon, eh taunya malah dikasih. Hujan masih deras, jadi kami memutuskan duduk-duduk dulu disana sambil berteduh dan sedikit nanya-nanya ke orang disana. Katanya sudah seminggu ini orang Bengkulu gak liat matahari alias mendung dan hujan terus-terusan. Wah gawat nih. Tapi memang tidak terlihat tanda-tanda bahwa hujan akan segera reda.

Dari sana, kami lanjutkan perjalanan ke Mega Mall dengan melewati pasar yang becek. Lha ngapain ke Mall? Niatnya mo cari peta Kota Bengkulu, heuheu…payah nih baru mo cari peta, tapi ternyata gak ada, yang ada Cuma peta Propinsi Bengkulu, yaa…sama aja gak terlalu membantu akhirnya kami cari tempat makan. Selesai makan, nelpon2 hotel buat cari penginapan, ternyata tuh hotel pada penuh. Nah lho? Aneh nih, keliatannya sepi banget Bengkulu, tapi begitu nelponin hotel ternyata penuh.
Jadi, dalam keadaan masih hujan deras kami berkeliling mecari hotel, basah dan kedinginan. Huaaa… menyedihkan. Beginilah nasib backpacker setengah hati (kalo kata Catur :D). Sambil berkeliling gitu, kami melihat banyak sekali papan peringatan di setiap penjuru Kota Bengkulu jika terjadi Tsunami.

Hotel di Bengkulu parah. Tarifnya pada mahal dengan kondisi hotel yang menyedihkan. Padahal kalo di Yogya, dengan harga segitu dah dapet penginapan nyaman banget tuh. Uh finally, setelah berkeliling dan nelpon banyak hotel, kami mendapatkan dua hotel. Karena udah pada penuh jadi kami menginap di dua hotel yang berbeda. Aku dan Catur di Hotel Denna sedangkan Mike di Hotel Bumi Endah, keduanya sama-sama di Jl. Fatmawati, hampir bersebrangan. (hiks hotelnya lumayan agak mahal nih, cukup buat setengah bulan bayar kost :D, tapi emang sih kamarnya lumayan nyaman.)

Setelah beristirahat sebentar dan mandi air hangat (untung di hotelnya ada fasilitas air hangat), malamnya kami jalan ke daerah Benteng, Pantai Tapak Paderi, tempat diadakannya Festival Tabot. Hmm…itu festival yang selalu digelar setiap tanggal 1-10 Muharam setiap tahunnya di Bengkulu. Hujan masih aja deras, tapi nampaknya tidak mengganggu penduduk Kota Bengkulu untuk keluar tuh.

Kami bertiga naik ke Fort Marlborough (Benteng yang dibangun tahun 1714-1719), hmm…karena dah malam jadinya dikunci. Eh, tapi bentar tuh ada seorang Bapak masuk ke Benteng itu. Kami mengikuti dan akhirnya kami diperbolehkan masuk. Cihuuuyyy…ternyata di dalam ada dua orang penjaga, dan panitia yang akan menyiapkan pesta kembang api. Jadinya kami hanya boleh liat-liat benteng sebelah kiri dan tidak boleh naik ke atas Benteng. Ah, it’s OK lah. Heuuu…seperti Night at the museum. Serem sih, tapi menyenangkan. Hujan deras, berangin, Cuma kami bertiga dan dua orang penjaga yang ada di bawah, haaa…mencekam banget. Tapi tetep, urusan narsis nomor satu, weks…parah! Setelah merasa cukup mengunjungi benteng malam itu, dan karena kedinginan, kami memutuskan keluar dan cari makan. Aaahh…di pasarnya gak ada makanan khas Bengkulu, adanya malah Sate Padang dan Soto apa ya? Tapi unik juga kok sotonya. Sudah lewat jam 10 malam, kami memutuskan balik ke hotel. Hmm…menghabiskan malam taun baru dengan tidur nyenyak karena kedinginan dan kecapean.


3 comments:

  1. pertamaaaaaaxxxx hihihi... hmm... kok jadi ikutan kedinginan yah baca cerita Lis ke bengkulu, hujaaaaan mulu siyh heheheh...

    ReplyDelete
  2. heuheu...enya teh, emang tiris pisan basa kamari ka Bengkulu teh :(

    ReplyDelete
  3. salam kenal.....
    nice report!

    saya berencana ke Bengkulu awal Juli...cuma belum tahu mau ke mana dan tidak ada kenalan di Bengkulu
    mohon bantuannya.....!?!

    ReplyDelete

Please, leave your comment here. Don't forget to put your name ... Anonymous is not recommended. Thanks :)